Dakwah: Priyayi dan Santrinisasi

Sungaidi Sungaidi

Abstract


Aset budaya keraton mulai dari naskah kuno, benda-benda pusaka, karya-karya arsitektur sampai karya seni dijaga dan dirawat dengan baik. Banyak negara di sektor pariwisatanya berkembang pesat dengan mengangkat kekayaan tradisi, narasi atau cerita yang menarik tentang daerah itu. Aset budaya dan karya-karya adiluhung harus diapresiasi dan dilindungi, dijaga, dirawat, dan bahkan dikembangkan.1 Kekayaan budaya keraton Nusantara harus dilihat sebagai bekal dan modal untuk meraih kemajuan sebagai melangkah maju.Sebagai modal penyemangat persaingan global yang semakin varitif, sengit dan kompetitif. Dalam berbagai bidang ekonomi/ sosial, budaya, pendidikan, militer dan teknologi. Tulisan ini melacak penerapan nilai-nilai Islam, budaya dan demokrasi di keraton Kasultanan Yogyakarta pada saat kepemimpinan dipegang HB IX. Menjelang wafat, HB IX tidak meniru para pendahulunya dalam menentukan siapa yang menjadi penerus takhta Kasultanan2 dan proses demokratisasi dengan meleburkan tata kesultanan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rahasia Yogyakarta bertahan itu karena proses sejarah dan sosiologi masyarakat yang berbeda dengan tiga bekas kesultanan lain (Surakarta, Deli, dan Bone).


Full Text:

PDF


DOI: https://doi.org/10.15408/dakwah.v22i2.12064 Abstract - 0 PDF - 0

Refbacks

  • There are currently no refbacks.


Copyright (c) 2019 Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Kemasyarakatan

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.

Creative Commons License

Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Kemasyarakatan licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License. Published by the Dakwah and Communication Faculty of UIN Syarif Hidayatullah Jakarta