RE-READING HATTA'S THINKING IN MOVEMENT: BETWEEN ISLAM AND NATIONALISM

Rian Wahyudin

Abstract


Abstract. This article reviews the perspectives of Mohammad Hatta as one of the Indonesian founding fathers in regards between Islam and nationalism.  Many scholars, historians, and intellectuals have deemed that Hatta was a secular nationalist who separated national propositions from religious values.  Whereas, on the contrary, both his actions and thoughts were in line with the noble of Islamic values, not only when he wanted to establish the Indonesian Islamic Democratic Party in 1967 with several other activists such as alumni of Islamic Students Association (HMI), PII, the Indonesian Islamic Syarikat Party, and Nahdlatul Ulama (NU) figures, but also Hatta's Islamic integrity already seen during the movement, when he was active in both the Indonesian Association (PI) organization in 1921-1930 and the Indonesian National Education (PNI Baru) in 1931-1932. For instance, Hatta proposed his thoughts on peace, which he took from Qur’an surah al-Fatihah verse two.  According to him, the concept of peace is the highest law in Islam; therefore, every free nation must uphold peace. He continued, the statement "God is the Most Gracious and Most Merciful" must be applied to create security and convenience among human beings. In February 1927, while serving as the administrator of the Indonesian Association in the Netherlands, Hatta and Nazir Pamontjak, Ahmad Subardjo, Gatot Tarumihardja, and Abdul Manaf were serving as the administrator of the Indonesian Association became delegators at the presidium meeting "Congress Against Imperialism and Colonial Oppression."  This event was organized by the “League Against Imperialism and for National Independence” in Brussels, Belgium.  There Hatta and his fellows sat on a par with delegates from other countries such as Chen Kuen and Liau Hansen (China), Roger Baldwin (United States), Jawaharlal Nehru (India), Willi Munzenberg and Georg Ledebour (Germany), and several delegates from France, Belgium, Latin America, England, and Czechoslovakia to oppose all forms of oppression and demand the independence of Indonesia and other occupied countries to achieve world peace.  Moreover, the identity of  Mohammad Hatta is known well as a figure who came from a family of well-known merchants and scholars in Minang, coupled with his expertise in associating with nationalist figures, made Islamic integrity not appeared by attributive religious symbols, but rather by his behavior, thoughts, and attitudes in everyday life.

 

Abstrak. Artikel ini mengulas tentang pemikiran salah satu bapak bangsa, Mohammad Hatta mengenai hubungan antara Islam dan nasonalisme. Banyak Sarjana, Sejarawan dan Cendikiawan masih menganggap bahwa Bung Hatta adalah seorang nasionalis sekuler, memisahkan soal-soal kebangsaan dari ajaran agama. Tindak-tanduk bahkan pemikirannya malah sejurus dengan nilai-nilai luhur Islam, bukan hanya saat dirinya dan beberapa aktivis lain seperti alumni HMI, PII, Partai Syarikat Islam Indonesia dan tokoh NU yang hendak mendirikan Partai Demokrasi Islam Indonesia pada tahun 1967, keberislaman Bung Hatta justru sudah terlihat pada masa pergerakan baik saat aktif di organisasi Perhimpunan Indonesia (PI) tahun 1921-1930 maupun di Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) tahun 1931-1932. Pemikirannya tentang perdamaian misalnya Hatta justru mengambilnya dari Surat al-Fatihah ayat dua. Konsep damai menurutnya hukum yang paling tinggi dalam Islam, oleh karenanya tiap-tiap bangsa yang merdeka harus menjunjung tinggi perdamaian. Menurutnya, “Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyanyang” itu harus diamalkan agar tercipta keamanan dan kenyamanan antar sesama umat manusia. Pada bulan Februari 1927 saat menjadi pengurus Perhimpunan Indonesia di Belanda, Bung Hatta bersama Nazir Pamontjak, Ahmad Subardjo, Gatot Tarumihardja dan Abdul Manaf menjadi delegator pada rapat presidium “Kongres Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial”. Kegiatan ini diselenggarakan oleh “Liga Menentang Imperialisme dan untuk Kemerdekaan nasional” di Brussel, Belgia. Di sana Hatta dan kawan-kawan duduk sejajar dengan delegator dari negara lain seperti Chen Kuen dan Liau Hansin, (China), Roger Baldwin (Amerika Serikat), Jawaharlal Nehru (India), Willi Munzenberg dan Georg Ledebour (Jerman), dan beberapa utusan lain dari Prancis, Belgia, Amerika Latin, Inggris dan Cekoslovakia untuk menentang segala bentuk penindasan dan menuntut kemerdekaan negara Indonesia dan negara lainnya yang sedang dijajah agar terwujudnya perdamaian dunia. Jati diri Bung Hatta yang berasal dari keluarga saudagar dan ulama masyhur di Ranah Minang ditambah dengan kepiawaiannya dalam bergaul dengan tokoh-tokoh nasionalis membuat corak keberislaman Hatta tidak ditonjolkan dengan simbol-simbol agama yang atributif, melainkan ditonjolkan dengan tingkah laku, pemikiran dan sikap dalam kehidupan sehari-hari.

 


Keywords


bung hatta; islam; nationalism; movement period; Bung Hatta; Islam; Nasionalisme; Masa Pergerakan

References


Abbas, Anwar. (2010). Bung Hatta dan Ekonomi Islam. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Adisusilo, Sutarjo. (2002). Nasionalisme, Demokrasi, Civil Society. Jurnal Iman, Ilmu, Budaya, III, (9): 4.

Alfarizi, Salman. (2012). Mohammad Hatta: Biografi Singkat 1902-1980. Yogyakarta: Garasi.

Anderson, Bennedict (2008). Imagined Communities (Komunitas-komunitas Terbayang). Penerjemah Omi Intan Naomi. Jakarta: Insist Press.

Azra, Azyumardi. (2006). Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah dan Kekuasaan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Azra, Azyumardi, (2003). Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Azra, Azyumardi, (2016). Transformasi Politik Islam: Radikalisme, Khilafatisme dan Demokrasi. Jakarta: Prenada Media Group.

Djoyoadisuryo, Ahmad Subardjo. (1972). “Kenang-Kenangan Akan Saudara Mohammad Hatta” dalam Mohammad Hatta, Bung Hatta Mengabdi Pada Cita-Cita Perjuangan Bangsa. Jakarta : T.pn.

Hatta, Mohammad. (1976). Kumpulan Karangan I. Jakarta: Bulan Bintang.

Hatta, Mohammad, (1979). Memoir. Jakarta: Tintamas.

Hatta, Mohammad, Asas PI 1924.

Hatta, Mohammad,-Catatan-Catatan Rapat PI 1924-1925.

Hatta, Mohammad,Kearah Indonesia Merdeka. Brosur 1932.

Hatta, Mohammad, “PNI Mendapat Percobaan,” Persatuan Indonesia. 1930.

Hp, Suradi. dkk. (1986). Sejarah Pemikiran Pendidkan dan Kebudayaan. Jakarta: Ditjarahnitra Ditjen Kebudayaan Depdikbud.

Kahin, George McTurnan. (2013). Nasionalisme dan Revolusi Indonesia. Penerjemah Tim Komunitas Bambu. Depok: Komunitas Bambu.

Kartodirdjo, Sartono. (1972) .Kolonialisme dan Nasionalisme di Indonesia pada Abad-19 dan Abad-20. Dalam Seksi Penelitian, Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gadjah Mada.

Kohn, Hans. (1976). Nasionalisme, Arti dan Sejarahnya. Jakarta: PT. Pembangunan.

Kuntowijoyo. (1991). Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: PT Mizan Pustaka.

Ma’arif, Ahmad Syafii. (2009). Islam KeIndonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah. Bandung: Mizan.

Ma’arif, Ahmad Syafii. (2009). Islam dalam Bingkai KeIndonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah. Bandung: Mizan.

Madjid, Nurcholis. (2003). Indonesia Kita. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Majid, Abdul dan Swasono, Sri-Edi. (1988). Wawasan Ekonomi Pancasila. Jakarta: UI Press.

Nata, Abuddin. (2016). Islam dan Kebangsaan, Makalah disampaikan dalam Pengenalan Budaya Akademik dan Kurikulum (PBAK) Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, UIN Jakarta.

Narwoko, J Dwi, dan Suyanto, Bagong, ed. (2015).Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Prenada Media Group.

Noer, Deliar. (1990). Mohammad Hatta: Biografi Politik. Jakarta: LP3ES.

Rasyad, Zubir. (2009). Ranah dan Adat Minangkabau. Jakarta: Agra Wirasanda.

Subchi, Imam. (2012). Pengantar Antropologi. Ciputat: Mumtaza Islamic School Press.

Subhan, Arif. (2009). Lembaga Pendidkan Islam Indonesia Abad ke-20. Smith, Anthony D (2001). Nasionalisme: Teori, Ideologi, Sejarah. Penerjemah Frans Kowa. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Tampi, Gerald Jacob (2015). Nasionalisme Sukarno dan Nasionalisme Hatta: Suatu Studi Perbandingan Mengenai Konsep Nasionalisme menurut Sukarno dan Hatta. Tesis, Magister Sosiologi Agama Fakultas Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.


Full Text: PDF

DOI: 10.15408/mimbar.v38i1.21005

Refbacks

  • There are currently no refbacks.