Frase ‘Antara Lain’ Sebagai Awal Alasan Yang Lain Dalam Pembatalan Putusan Arbitrase

Siti Romlah

Abstract


Manusia adalah makhluk sosial yang selalu membutuhkan manusia lainnya untuk bertahan hidup.Oleh sebab itulah Aristoteles menyebut manusia dengan “zoon politicon.” Memang menjadi sesuatu yang tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa manusia memang tidak akan mampu untuk hidup sendiri, mereka akan mencari teman yang akan membantu diri mereka untuk memenuhi kebutuhan mereka. Namun, dalam dinamika sosial tersebut, manusia tak jarang untuk mengedepankan kebutuhan mereka dibanding dengan manusia lainnya, karena sifat egosentris yang mereka miliki.Karena itu juga Thomas Hobbes menyebut manusia dengan Homo Homini Lupus (manusia adalah serigala bagi manusia yang lainnya). Sifat egosentris merekalah yang terkadang menimbulkan perbedaan dan perselisihan antar sesama manusia, atau yang disebut dengan sengketa.

Sengketa dalam KBBI edisi V diartikan dengan perbedaan pendapat, pertikaian, perselisihan. Terdapat dua macam cara untuk menyelesaikan suatu sengketa, yaitu penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi) dan penyelesaian sengketa diluar pengadilan (non-litigasi). Penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi) adalah suatu proses penyelesaian sengketa, dimana kedua pihak yang saling bersengketa dihadapkan atau penyelesaian sengketanya dilakukan di pengadilan (Winarta, 2012: 1-2). Sedangkan yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah proses penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar pengadilan.  Penyelesaian sengketa di luar pengadilan menurut Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 dapat berbentuk konsultasi, negosiasi, konsiliasi, arbitrase, dan mediasi.

Arbitrase merupakan salah satu bentuk penyelesaian di luar pengadilan. Dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menyebutkan bahwa arbitrase adalah suatu cara penyelesaian sengketa di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Kekuatan dari putusan arbitrase juga final dan binding, serta dilakukan secara tertutup, sehingga banyak pelaku-pelaku usaha yang lebih memilih untuk menyelesaikan sengketa mereka dengan menggunakan arbitrase. Hal tersebut terjadi karena banyak perusahaan-perusahaan yang ingin menjaga nama baik perusahaan mereka. Muhammad Ardyansah dalam tulisannya menyebutkan bahwa:

“...tidak semua putusan yang dihasilkan melalui arbitrase akan memberikan kepuasan kepada para pihak. Ada kalanya putusan arbitrase tidak dilaksanakan secara sukarela oleh para pihak. Hal itu bisa disebabkan karena ada hal-hal dalam putusan sengketa diragukan keabsahannya atau ada alasan lain. Dalam hal ini, pengadilan memiliki peran yang besar dalam mengembangkan arbitrase (Andriansyah, 2014: 332).”

Hal-hal yang dapat menjadi alasan untuk mengajukan pembatalan putusan arbitrase, telah diatur dalam pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, yaitu, pertama; adanya surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diketahui ternyata dokumen atau surat tersebut palsu atau dinyatakan palsu; kedua, setelah adanya putusan arbitrase, ternyata ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh salah satu  pihak; ketiga, setelah adanya putusan arbitrase, ternyata diketahui bahwa terdapat tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Namun, yang menjadi permasalahan adalah dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menyebutkan unsur-unsur yang diperlukan untuk melakukan pembatalan putusan arbitrase, dengan frasa “antara lain.”

Ilhami Ginang Pratidina menyebutkan dalam tulisannya “Frase ‘antara lain’ memiliki makna yang identik dengan terminologi ‘inter alia’ yang berarti ‘[a]mong other things’ atau menyebut sebagian saja dari beberapa yang lain” (Pratidina, 2014: 311). Hal ini memberikan implikasi bahwa selain dari pada yang disebut dalam pasal 70 tersebut, berarti ada hal-hal lain yang dapat menjadi alasan lain untuk membatalkan putusan arbitrase. Dalam kenyataan, hal tersebut sudah pernah terjadi dan menjadi pertimbangan hukum majelis hakim Mahkamah Agung dalam perkara No. 03/Arb.Btl/2005 tanggal 17 Mei 2006.

Frasa ‘antara lain’ tersebut sebaiknya harus segera diubah, agar nantinya tidak sembarangan dipergunakan untuk memasukkan alasan-alasan lain yang dapat membatalkan putusan arbitrase. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 harus segera di revisi, bukan hanya permasalahan ini, namun juga dikarnakan banyak pasal-pasal yang sudah tidak sesuai lagi dengan perubahan zaman yang terjadi.


Full Text:

PDF

References


Andriansyah, Muhammad. “Pembatalan Putusan Arbitrase Nasional oleh Pengadilan Negeri,” Jurnal Cita Hukum, Volume I, Nomor 2, Desember 2014.

Aji, Ahmad Mukri. "Hak dan Kewajiban Asasi Manusia Dalam Perspektif Islam," SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i, Volume 2, Nomor 2, (2015).

Maggalatung, A Salman. "Hubungan Antara Fakta Norma, Moral, Dan Doktrin Hukum Dalam Pertimbangan Putusan Hakim," dalam Jurnal Cita Hukum, Vol. 2, No. 2 (2014).

Maggalatung, A Salman; Yunus, Nur Rohim. Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara, Cet-1, Bandung: Fajar Media, 2013.

Pratidina, Ilhami Ginang. “Interpretasi Mahkamah Agung Terhadap Alasan Pembatalan Putusan Arbitrase dalam Pasal 70 UU. No. 30 Tahun 1999,” Jurnal Yuridika, Volume 29, Nomor 3, September-Desember 2014.

Winarta, Frans H. “Hukum Penyelesaian Sengketa,” Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Yunus, Nur Rohim. "Menciptakan Budaya Hukum Masyarakat Indonesia Dalam Dimensi Hukum Progresif," Jurnal Supremasi Hukum, Volume 1 No. 11 (2015).




DOI: https://doi.org/10.15408/adalah.v1i9.11328 Abstract - 0 PDF - 0

Refbacks

  • There are currently no refbacks.