NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM PERIODE TOMANURUNG

Yunus Yunus

Abstract


Abstract. This study aims to describe the value of local wisdom contained in the Tomanurung period. This research uses ethno pedagogical method. The technique of collecting data through interviews, interviewed informants came from several academic circles (lecturers) as many as 6 people. Researchers also interviewed 6 community leaders. This post-chaos period is called the Tomanurung period with a character named Simpurusiang in Bugis language, “Simpurusiang” implies “a strong and unbroken binder”. The condition of society is in a state of chaos and divorce. Because of this, they are looking for figures who can unite societies that have been divided and in chaos. Through a long search, they found the person they needed, namely a Tomanurung (the descendant) and they agreed to make him king through a “collective agreement” that is between Tomanurung and people's representatives. According to the perspective of the Luwu community, Tomanurung means a person who descends from heaven or heaven. Tomanurung did not know the news of his arrival beforehand, suddenly appeared and his presence was being awaited to fix the chaotic situation. Therefore, Tomanurung for the people of Luwu and Bugis-Makassar is generally considered a savior, unifier and continuation of royal life. So the value of human behavior in the past, which was the source of the lontaraq pappaseng script, such as adele’ (fair), lempu' (honest), getteng (firm), Abbulo Sibatang.

 

Abstrak. Penelitian ini bertujuan mengambarkan nilai kearifan lokal yang terdapat dalam periode Tomanurung. Penelitian ini menggunakan metode etnopedagogi. Teknik pengumpulan datanya melalui wawancara, informan yang diwawancarai berasal dari beberapa kalangan dari akademis (Dosen) sebanyak 6 orang. Peneliti juga, mewawancarai kalangan tokoh masyarakat sebanyak 6 orang. Periode pasca chaos ini disebut dengan periode Tomanurung dengan tokohnya bernama Simpurusiang dalam Bahasa Bugis, “Simpurusiang” mengandung makna “pengikat yang kuat dan tidak putus-putus”. Karena kondisi masyarakat dalam keadaan kacau dan bercerai berai. Karena itu, mereka mencari tokoh yang dapat mempersatukan masyarakat yang telah bercerai-berai dan dalam keadaan kacau (chaos). Melalui pencarian yang panjang, maka ditemukanlah orang yang mereka perlukan yaitu seorang Tomanurung (orang turun) dan mereka sepakat menjadikannya raja melalui suatu “perjanjian bersama” yaitu antara Tomanurung dengan wakil-wakil rakyat. Menurut persfektif masyarakat Luwu, Tomanurung artinya orang yang turun dari langit atau kayangan. Tomanurung tidak diketahui berita kedatangannya terlebih dahulu, tiba-tiba muncul dan kehadirannya memang sedang ditunggu-tunggu untuk memperbaiki keadaan yang sedang kacau. Karena itu, Tomanurung bagi masyarakat Luwu dan Bugis-Makassar pada umumnya dianggap sebagai penyelamat, pemersatu dan pelanjut kehidupan kerajaan. Jadi nilai perilaku manusia pada masa lampau yang sumber naskah lontaraq pappaseng seperti adele’ (adil), lempu’ (jujur), getteng (teguh), Abbulo Sibatang.

Keywords


PeriodeTomanurung; Nilai kearifan lokal;

References


A. Fishman (ed). (1997). Readings in Sociologi of Languange (Paris: The Hangue Mouton.

Abdullah, M. Amin. (2000). Dinamika Islam Kultural: Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer. Bandung: Mizan.

Anton, Andi. (1993). Pangeran, “Upacara ‘Ripasekko Pajung Pulaweng” (Penobatan Pajung Pulaweng).” Ujungpandang: Panitia Pelaksana Pagelaran Budaya Luwu.

Arifin, Ahmala. (2015). Tafsir Pembebasan: Metode Interpretasi Profresif ala Farid Esack. Yogyakarta: Aura Pustaka.

Azra, Azyumardi. (2014). “Agama untuk Perdamaian Dunia”, Republika, Kamis 14 August.

Brown, Penelope and Stephen C Levinson. Politeness. (1987). Some Unoversals in Languange Usage. Studies in Interaction Sociolinguistics. New York: Cambridge University Press.

Esack, Farid. (1977). Qur’an, Liberation, Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression. Oxford: One world.

Gani, Ambo dkk. (1990). Wasiat-Wasiat dalam Lontarak Bugis (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Hadrawi. (2019). Salah Satu Penulis Prospek Pesantren Tana Luwu, Wawancara, 16 Februari di Malangke Desa Cenning.

Hakim. Zainuddin. (1992) Pangngajak Tomatoa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.

Mattingaragau, Andi. 2019.Wakil Rektor 1 UNANDA, Wawancara, 14 Februari

MG., A Moein. (1990). Menggali Nilai-Nilai Budaya Bugis Makassar dan Siri’ Na Pacce, Ujung Pandang: Yayasan Mapress.

Mulyono, Hadi dan Abd Muthalib. (1979). Sejarah Kuno Sulawesi-selatan, Ujungpandang: Suaka Peninggalan sjarah dan Purbakala Sulawesi-selatan

Murtadha Muthahhari, Ayatullah. (2011). Dasar-Dasar Epistemologi Pendidikan Islam. Jakarta: Sadra Press.

Narwoko J. Dwi & Bagong Suyanto (2004). Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta: Prenada Media.

Pananrangi, Hamid. (1996) “Pemahaman Budaya Sulawesi Selatan tentang Nilai

Pendidikan, Karya, dan Kepemimpinan Menurut Lontarak”, dalam Bosara Media Informasi Sejarah dan Budaya Sul-Sel No. 4 Th. III, (Ujung Pandang: Depdikbud Dirjen Kebudayaan BKSNT.

Paul Suparno. (2002). Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah Suatu Tinjauan Umum. Yogyakarta: Kanisius.

Ramli, Muhammad. (2008) “Sinergitas Kearifan Lokal Masyarakat Bugis dalam Impelementasi Kebijakan Publik di Kabupaten Sidenreng Rappang”, Disertasi, Makassar: Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar.

Rapi Tang, Muhammad, (2004) “Reso sebagai Roh Kehidupan Manusia Bugis: Budaya dari Sisi Mental dan Fisik”, dalam makalah Seminar dan Diskusi Peningkatan Apresiasi Masyarakat tentang Budaya Disiplin, Makassar: Kemenbudpar BKSNT bekerjasama dengan Fakultas Sastra Unhas.

Ritzer, George. (2004). Edisi terbaru Teori Sosiologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Salim. Arhanuddin Yunus Salik, and Ismail Suwardi Wekke. (2018)"Pendidikan Karakter dalam Masyarakat Bugis." Ijtimaiyya: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam 11, no. 1: 41-62.

Saleh, Nuralam. (2016). “Pappasang Turiolo (Revitalisasi Nilai-Nilai Budaya dalam Kehidupan Orang Makassar”, dalam Walasuji Vol I, (1), Januari-April.

Sikki, Muhammad, dkk. (1998) Nilai dan Manfaat Pappaseng dalam Sastra Bugis. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.

Sulesana Anwar Ibrahim. (2003) Kumpulan Esai tentang Demokrasi dan Kearifan Lokal. Makassar: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin.

Yunus, Subhan Fadli Pluralisme dalam Bingkai Budaya, Yogjakarta: Bintang Pustaka, 2020.

Zuriah, Nurul. (2007) Pendidikan Moral & Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan: Menggagas Platform Pendidikan Budi Pekerti Secara Kontekstual dan Futuristik. Jakarta: Bumi Aksara.


Full Text: PDF

DOI: 10.15408/mimbar.v37i2.18202

Refbacks

  • There are currently no refbacks.