Pola Operasionalisasi Politik Identitas di Indonesia

Zahrotunnimah Zahrotunnimah

Abstract


Politik Identitas merupakan pemanfaatan manusia secara politis yang mengutamakan kepentingan sebuah kelompok karena persamaan identitas yang mencakup ras, etnis, dan gender, atau agama tertentu. Politik ini kerap digunakan di masa lampau. Sebagai Contoh Adolf Hitler yang meyakinkan orang-orang Jerman bahwa sumber krisis ekonomi dan kekalahan perang dunia adalah karena pengaruh orang-orang Yahudi. Dengan janji-janji manis untuk membesarkan Jerman pada saat itu, Hitler bersama partainya berhasil memenangkan pemilu di tahun 1932. Solusi yang ia tawarkan adalah melenyapkan orang Yahudi dan janji itulah yang dijual dan dibeli sebagian besar Rakyat Jerman. Sehingga mengakibatkan tragedi yang terjadi di Jerman pada saat Nazi berkuasa. Enam juta orang Yahudi menjadi korban kekejaman politik identitas dan itu menjadi salah satu peristiwa genosida terburuk yang tercatat dalam sejarah dunia.

Di Indonesia politik Identitas lebih terkait dengan etnisitas, agama, ideologi dan kepentingan-kepentingan lokal yang diwakili umumnya oleh para elit politik dengan artikulasinya masing-masing (Ma’arif, 2012: 55-100). Gerakan pemekaran daerah atau pergantian kekuasaan pemerintahan diantaranya menjadikan politik identitas sebagai salah satu alat politiknya. Isu-isu tentang keadilan dan pembangunan daerah menjadi sangat sentral dalam wacana politik mereka, sehingga lebih banyak dipengaruhi oleh ambisi para elit lokal untuk tampil sebagai pemimpin, yang hal ini merupakan masalah yang tidak selalu mudah dijelaskan.

Lalu bagaimana pola-pola operasionalisasi politik identitas ini terjadi? Hal tersebut dapat terlihat pada realitas yang terjadi di masyarakat Indonesia saat ini, selain karenanya banyaknya benturan berbagai kepentingan dan fenomena ego sektoral masyarakat.

Penulis mengurasi pola-pola operasionalisasi politik identitas ini ke dalam tiga komponen yaitu: Pertama, operasionalisasi politik identitas dimainkan peranannya secara optimal melalui roda pemerintahan. Hal ini sejalan dengan bergesernya pola sentralisasi menjadi desentralisasi, dimana pemerintah daerah diberi kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri dan pengakuan politik dalam pemilihan kepala daerah oleh konstituen di daerah masing-masing. Disisi lain tentu memiliki nilai positif dalam hal ini bagaimana pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengatur dan memaksimalkan potensi daerah yang dimilikinya, akan tetapi di lain pihak tentu bisa menimbulkan keresahan apabila identitas politik kedaerahannya diangkat dalam panggung politik.

Kedua, dimana wilayah agama sebagai lahan beroperasinya politik identitas. Wilayah kedua inipun banyak dilakukan di berbagai belahan dunia manapun. Akan tetapi dalam konteks Indonesia, politik identitas terkadang dilakukan oleh kelompok mainstream, yaitu kelompok agama mayoritas dengan kaum minoritas. Hal ini bisa saja sama terjadi dimanapun. Kemudian disusul dengan munculnya gerakan-gerakan radikal atau semi radikal yang mengatasnamakan agama tersebut.

 Ketiga, politik identitas pada ranah wilayah hukum. Dalam Wilayah ini ibarat pisau bermata dua. Karena yang dimaksud dengan wilayah hukum disini adalah wilayah paduan antara wilayah negara dan agama, karena masing-masing memiliki aturannya sendiri. Disisi lain, politik identitas beroperasi dengan cara pembagian kekuasaan, di mana identitas kelompok akan memasukkan kepentingan identitasnya secara partikular. Akan tetapi hal ini, kemungkinan tidak akan terjadi, jika kepentingan dari politik identitas etnis yang bersifat minoritas tidak terjembatani melalui pengakuan hak-haknya untuk berpartisipasi di wilayah pembuatan keputusan hukum secara bersama.

Tentu tidak dapat dibayangkan betapa nilai keragaman di Indonesia akan sangat dipertaruhkan, dan benturan-benturan akan terus berkembang di kalangan masyarakat. Kecenderungan politik identitas telah mendistorsi wawasan kebangsaan yang secara perlahan dibangun oleh bangsa Indonesia. Dengan demikian Multikulturalisme dalam ikatan persatuan dan kesatuan sebagai modal dasar tumbuhnya nasionalisme tidak pernah tuntas dalam proses pendefinisian tentang identitas ke-Indonesiaan.

Semoga Tulisan ini memunculkan kesadaran bagi kita semua betapa mahal artinya sebuah perjuangan dalam menegakan pilar persatuan dan kesatuan Indonesia yang termaktub dalam sebuah ideologi Nasionalisme. Semoga cita-cita mulia para pemuda indonesia diawal perjuangannya dalam mendirikan bangsa ini tetap terpelihara dengan baik. Semoga tulisan ini bisa membawa kesadaran dan kedewasaan khususnya bagi penulis dan juga pembacanya. Wallahu’alamu bisshowaab. Kazan, 6 Oktober 2018.


Full Text:

PDF

References


Abdillah, Ubed. Politik Identitas Etnis. Pergulatan Tanda Tanpa Identitas. Magelang: IndonesiaTera, 2002.

Gellner, Ernest. Nations and Nationalism. Ithaca: Cornell University Press. 1983.

Maarif, Ahmad Syafi. 2012. Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita, Jakarta, Democracy Project, 2012.

Setyaningrum, Arie.”Memetakan lokasi bagi politik identitas dalam wacana politik poskolonial” dalam “Politik perlawanan” Yogyakarta: IRE, 2005.

Ernest Gellner, Nations and nationalism, Ithaca : Cornell University Press, 1983.




DOI: https://doi.org/10.15408/adalah.v2i11.9438 Abstract - 0 PDF - 0

Refbacks

  • There are currently no refbacks.